Nail Salon

3 'Red Flag' Salon Kuku di Bali yang Wajib Kamu Tahu

a chair
a chair
a chair
a minimal living room
a minimal living room
a minimal living room
Industry
Nail Art
Year
2025

Halo, ini Kathleen.

Setelah 5 tahun jadi Beauty Product Consultant di Amerika, saya kembali ke Bali dan... wow. Saya cinta Bali, tapi mencari salon kuku yang 'benar' di sini rasanya seperti rollercoaster.

Saya sudah mencoba banyak tempat, dari yang viral di Sanur, fancy di Seminyak, sampai yang private di Canggu. Dan sejujurnya, saya gemes. Banyak sekali "jebakan" yang membuat ritual self-care kita jadi stres.

Saya ingin berbagi insights saya sebagai konsultan kecantikan. Ada 3 "Red Flag" besar yang, jika Anda lihat, Anda harus berpikir dua kali.

Red Flag #1: Mereka Tidak Bisa Menjelaskan Proses Sterilisasi

Ini red flag nomor satu saya, dan ini non-negotiable.

Saya pernah di salon yang kelihatan bersih, lalu saya iseng tanya, "Kak, proses sterilisasi alatnya gimana ya?"

Jawabannya gelagapan. "Oh, itu... direndam, Kak," sambil menunjuk tabung berisi cairan disinfektan (yang entah diganti kapan).

Gulp.

Begini masalahnya: alat-alat itu (gunting kutikula, pusher) menyentuh langsung kulit puluhan orang. Kadang, pasti ada yang berdarah (walau setitik). Kita gak tahu kondisi darah atau bakteri di kuku orang itu. Kalau alat yang sama (tanpa disterilisasi dengan benar) dipakai ke Anda, itu risiko infeksi.

"Saya ke salon mau tenang, bukan mau ketakutan kena penyakit," kata saya dalam hati waktu itu.

Salon profesional harus bisa menjelaskan step-by-step: "Alat kami cuci dengan sabun antiseptik dan air panas, dikeringkan total, dimasukkan ke UV sterilizer lalu kami seal dalam pouch sterilisasi." Jika mereka gak bisa jelaskan, itu red flag.

Red Flag #2: Si 'Bisa-Bisa' (Tapi Ternyata Gak Bisa)

Ugh, ini. Ini pengalaman pribadi saya di salon area Kuta Selatan.

Saya datang untuk visit kedua (yang pertama oke-oke aja, tapi nailist-nya beda). Saya tunjukkan foto design yang agak complicated: Ombre seamless yang di-topping chrome powder.

Nailist-nya, tanpa ragu, bilang, "Oh, bisa, Kak. Gampang ini."

Spoiler: Gak gampang.

Dia gak punya teknik atau produk yang tepat. Ombre-nya dikerjakan pakai gel polish biasa, bukan di-tap pakai sponge atau eyeshadow (untuk design spesifik itu). Hasilnya? "Banyak 'cakar-cakar' gitu, Kak," kata saya. Gak smooth.

Puncaknya? Pas dipakaikan chrome powder... ombre-nya hilang. Ketutup semua jadi satu warna chrome.

Saya shock. "Kok gini, Kak?"

Saya akhirnya suruh dia fix (bongkar). Total saya duduk di salon itu? Tiga setengah jam lebih. Punggung saya sakit.

Kenapa gak transparan dari awal? Lebih baik dia bilang: “Kak, maaf, design ini kita gak bisa, tapi kita bisa bikin yang mirip begini,” daripada maksa tapi hasilnya zonk, keluh saya. Ini bukan cuma soal skill, ini soal kejujuran profesional.

Red Flag #3: Jebakan "Harga Tambahan" di Kasir

Ini "dosa" industri yang paling umum di Bali.

Anda pilih design, tanya harga, katanya Rp 200.000. Oke.

Selesai treatment, Anda happy, kukunya cantik. Anda ke kasir...

"Totalnya Rp 260.000 ya, Kak."

Wait, what?

"Oh, iya Kak. Tadi ada tambahan charge buat pearls-nya, 15 ribu per kuku. Terus sama beads kecilnya 10 ribu."

JDEGER.

Rasanya 'terjebak'. Mood rileks Anda langsung hilang, diganti awkward di depan kasir. "Kenapa gak bilang dari awal?"

Salon yang baik harus transparan soal harga sebelum pengerjaan. Titik.

Kesimpulan: Jangan Kompromi untuk Ketenangan Anda

Self-care itu harusnya jadi momen paling tenang dalam minggu Anda. Jangan biarkan red flag ini merusak ritual Anda.

Anda berhak mendapatkan salon yang Jujur (soal harga), Profesional (soal skill), dan Aman (soal sterilisasi).

Jangan takut untuk jadi pelanggan yang 'kepo' dan bertanya. You deserve better.

Stay refined,

—Kathleen (Founder Hanarei)



More Journal

Create a free website with Framer, the website builder loved by startups, designers and agencies.